Masa Pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY)
Zaman pemerintahan SBY,
rasio utang dengan PDB turun, dicapai dalam jangka waktu 5 tahun.
Hal yang menakutkan, dari sedemikian besar utang, hanya 0,3 % saja yang
dipergunakan oleh SBY untuk mensubsidi rakyat miskin. Artinya, upaya membantu
masyarakat kecil (melalui program BLT, PNPM, BOS, dll.) memang benar-benar
kecil nilainya.
Naiknya besaran utang
Indonesia, itu sama artinya, beban cicilan dan pokok utang juga semakin
membengkak. Kondisi ini menekan alokasi anggaran belanja pemerintah untuk
kebutuhan utama pemerintah, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat.Dampak besarnya utang tersebut, sangat mengancam kedaulatan dan
ketahanan ekonomi bangsa kita, termasuk didalamnya, nilai tukar rupiah.
Sewajarnya, nilai tukar rupiah kita berada pada level 8000 rupiah per 1 dollar,
atau dibawahnya. Sekarang, nilai tukar rupiah adalah antara Rp. 10 ribu hingga
Rp. 12 ribu (nilai Rp 12 ribu per 1 dollar terjadi pada bulan Februari 2009
kemarin).
Apabila nilai tukar
rupiah bisa mencapai angka Rp. 8000 per 1 dollar, itu baru terjadi stabilitas
ekonomi. Posisi nilai tukar rupiah bisa mencapai angka Rp. 8000 per 1 dollar,
adalah nilai tukar yang seharusnya dicapai dan membuat indikator perekonomian
Indonesia bisa dibilang membaik dan telah baik.
Saat Ibu Megawati memerintah, nilai tukar rupiah kita berada pada posisi stabil
dikisaran Rp. 8000 per 1 dollar. Hal ini berhasil dipertahankan hingga akhir
masa rupiah kita berada pada level 8000 rupiah per 1 dollar, atau dibawahnya.
Pencapaian yang dilakukan
pada masa pemerintahan Ibu Megawati itu, termasuk istimewa, karena sebelumnya,
nilai tukar rupiah berada pada posisi antara Rp. 9000 hingga Rp. 14 ribu
rupiah. Kondisi ekonomi Indonesia mulai membaik dan terkendali setelah dua
tahun masa pemerintahan SBY. Sedikit demi sedikit dana subsidi MIGAS ditarik
oleh pemerintah mulai dari Bensin, Solar kemudian Minyak Tanah yang selama ini
membebani pemerintah. Pemerintah cenderung menyerahkan harga barang pada
mekanisme pasar. Interaksi ekonomi domestiknya berwawasan internasional dan
mengikuti sistem ekonomi internasional. Secara ekonomi memang menunjukkan
kondisi membaik, namun rakyat Indonesia masih banyak yang miskin, pengangguran
belum bisa diatasi pemerintah, nilai rupiah masih sekitar 9.000-an per 1 US$,
kemampuan daya beli masyarakat Indonesia masih rendah, korupsi masih tinggi
tercatat Indonesia termasuk dalam peringkat kelima negara terkorup di dunia
(TEMPO, 20 Oktober 2004), dan sebagainya.
Secara teoritik,
neoliberalisme merupakan teori ekonomi yang benar-benar membebaskan pasar
bertindak, ketimbang regulasi, sehingga cenderung disebut menihilkan peran
negara. Disini, mengutip Vincent Navarro, pokok kebijakan neoliberalisme adalah
sebagai berikut:
- deregulasi pasar tenaga kerja, melalui penerapan sistim
kontrak dan outsourcing,
- deregulasi pasar financial,
- deregulasi perdangan barang dan jasa,
- mengurangi subsidi dan jaminan sosial untuk
public,
- privatisasi dan penjualan asset strategis,
- mempromosikan individualisme dan konsumerisme,
- pengembangan teori dan narasi yang memuji-muji
keunggulan pasar, dan
- mempromosikan anti-intervensionisme.
Kita tidak akan
menggunakan keseluruhan parameter tersebut, tetapi hanya mengambil beberapa
point kebijakan neoliberal yang familiar bagi rakyat luas, seperti soal
privatisasi, utang luar negeri, soal pencabutan subsidi, dan liberalisasi
ekonomi. Tujuannya, tentu saja, supaya rakyat lebih mudah memahami perbedaan
era pemerintahan SBY dan pemerintahan sebelumnya, serta watak neoliberal rejim
SBY yang lebih agressif dibanding sebelumnya.
Secara teoritis, bagi
penganut neoliberal, privatisasi dimaksudkan sebagai jalan untuk mengatasi
masalah kekurangan financial, untuk membuat pelayanan menjadi lebih efisien,
serta mengindari distorsi pada makro dan mikro ekonomi akibat pelayanan public
gratis (Carlos Vilas). Pada kenyataannya, privatisasi telah mengarah para
pengguna jasa untuk membeli dengan harga yang lebih mahal, karena perusahaan
yang terprivatisasi kini menggunakan kriteria bisnis dan mencari keuntungan
(profit).
Baiklah, kita lihat privatisasi di zaman pemerintahan SBY sekarang ini:
Secara faktual, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, menjalankan kebijakan
privatisasi berdasarkan desakan dari luar, khsusunya IMF dan bank dunia. SBY
menjalankan privatisasi dengan dimandori secara langsung oleh Bank Dunia.
Selain itu, di bawah
pemerintahan SBY, kondisi APBN cenderung membaik, dan bahkan surplus. Artinya,
SBY menjalankan privatisasi memang berdasarkan scenario neoliberalisme. Dari
segi jumlah BUMN yang diprivatisasi, SBY jauh lebih agressif. Berdasarkan
catatan kami, Periode 1991-2001, pemerintah Indonesia 14 kali memprivatisasi
BUMN. Yang terprivatisasi 12 BUMN. Sedangkan dibawah SBY, situasinya cukup
menggemparkan, bayangkan, hanya dalam setahun 44 BUMN dilego. Apalagi,
privatisasi kali ini disertai penjualan seluruh saham 14 BUMN industri, 12 BUMN
kepada investor strategis, dan beberapa BUMN lainnya kepada asing. Jadi, SBY
benar-benar “royal” dalam mengobral BUMN dibandingkan pemerintahan sebelumnya.
Soal kebijakan utang luar
negeri, pemerintahan SBY terlalu banyak melakukan kebohongan terhadap publik.
Soal utang kepada IMF, misalnya, SBY mengatakan bahwa jumlahnya semakin
menurun, tetapi angka kumulatif utang luar negeri terus bertambah dari donatur
di luar IMF, baik dari Bank Dunia, ADB, Paris Club, dsb, maupun dari utang
bilateral.
Semasa pemerintahan SBY,
tercatat terjadi peningkatan total utang luar negeri secara signifikan dari Rp.
662 triliun (2004) menjadi Rp. 920 triliun (2009). Artinya pemerintahan SBY
“berhasil” membawa Indonesia kembali menjadi negara pengutang dengan kenaikan
392 triliun dalam kurun waktu kurang 5 tahun.
Dalam tiap tahunnya, pemerintahan SBY menambah utang sebesar 80 trilyun
pertahun.
Untuk diketahui,
outstanding Utang luar negeri Indonesia sejak tahun 2004-2009 terus meningkat
dari Rp1275 triliun menjadi Rp1667 triliun.
Sementara itu, sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, pembayaran bunga dan
cicilan pokok utang luar negeri menunjukkan tren yang meningkat. Sejak awal
masa pemerintahan presiden SBY di tahun 2005 sampai dengan September 2008 total
pembayaran bunga dan cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp277 triliun.
Hal inilah, secara factual, yang menyebabkan APBN tidak bisa berfungsi untuk
mendanai pembangunan dan belanja capital.
Pada tahun 2003, ketika
Budiono menjabat menteri keuangan, dia berusaha memperpanjang kontrak dengan
IMF melalui Post Program Monitoring (PPM), padahal sidang MPR mengamanatkan
kepada pemerintah untuk mengakhiri kerjasama dengan IMF.
Dalam hal pencabutan
subsidi BBM, pemerintahan SBY jauh lebih agressif dalam mencabut subsidi BBM.
Dihitung berdasarkan persentase, maka tingkat kenaikan BBM pada era
pemerintahan Megawati adalah 31%, sementara tingkat kenaikan BBM pada
pemerintahan SBY adalah 64%.
- Liberalisasi Perdagangan dan Investasi
Pada masa pemerintahan
SBY, liberalisasi ekonomi berlangsung di bidang perdagangan, industri dan
investasi.
Di bidang perdagangan,
SBY menjadi pengikut setia WTO dalam mendorong penghapusan tarif impor dan
ekspor di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, SBY juga aktif dalam mendorong Free
Trade Agreement (FTA) dengan negara-negara lain, seperti ASEAN EU FTA, ASEAN
Jepang FTA, ASEAN India FTA, ASEAN Korea Selatan FTA, dan Indonesia Jepang EPA.
Di bidang industri, di
bawah pemerintahan SBY, banyak sektor Industri yang menderita kekurangan bahan
baku. Industri rotan, misalnya, harus tutup dan mengalami kebangkrutan karena
SBY meliberalisasi rotan Indonesia.
Di sektor energi,
liberalisasi juga menyebabkan pasokan gas untuk industri juga mengalami
kemandekan. Sebagai misal, Dua pabrik pupuk besar, yaitu PT Pupuk Iskandar Muda
(PIM) dan Asean Aceh Fertilizer (AAF), harus tutup. Selain itu, ada banyak
industri di dalam negeri yang menderita kekurangan pasokan energi, akibat
keputusan pemerintahan SBY meliberalkan sektor energi dan menerapkan kebijakan
ekspor bahan mentah.
Puncak liberalisasi di
era pemerintahan SBY adalah pengesahan pengesahan UU Penanaman Modal No.
25/2007 dan Peraturan Presiden No. 76 dan 77. Dalam UU Penanaman Modal yang
dihasilkan pemerintahan SBY tersebut, tidak ada lagi perlakuan yang berbeda
antara modal asing dan dalam negeri.
Selain itu, UU PM ini
juga menjamin kepemilikan saham oleh pihak asing hingga 100%. Artinya, dengan
UU PM ini, Indonesia tidak punya lagi kedaulatan ekonomi.
Di sektor jasa, khususnya
pendidikan dan kesehatan, SBY juga begitu aktif dalam mengaprove proposal yang
diajukan WTO. Di bidang pendidikan, misalnya, pemerintahan SBY menghasilkan RUU
BHP yang mengarahkan pendidikan pada mekanisme pasar.
Sebagai dampak dari
liberalisasi yang diperkenalkan SBY, di sektor migas, misalnya, pihak asing
mengontrol hingga 85-90% pengelolan migas nasional, akibatnya 85% produksi
migas nasional dikontrol oleh pihak asing. Kemudian, Sebanyak 65% kepemilikan
saham di pasar modal adalah asing. Sebesar 14 milyar dollar AS kepemilikan SBI
dan SUN adalah asing.
Selain itu, sebagai
dampak penerapan liberalisasi investasi, Lebih dari 95 juta hektar lahan telah
diserahkan kepada perusahaan minyak di sektor hulu dalam rangka ekploitasi
minyak. Lebih dari 40 juta hektar diserahkan dalam rangka eksploitasi mineral
dan batubara, sekitar 7 juta hektar diserahkan untuk korporasi perkebunan dan
sekitar 31 juta hektar diserahkan untuk korporasi kehutanan.
- Aspek-Aspek Kemandirian dalam Pemerintahan
Megawati
- Pada masa pemerintahan
SBY sekarang ini, dimana benar-benar terfokus dan ditentukan oleh AS dan
negara-negara kapitalis maju. Di masa pemerintahan Megawati, kerjasama ekonomi
dan politik juga dilakukan diluar blok AS dan sekutunya, seperti kerjasama
pembelian pesawat Sukhoi dengan Rusia dan kerjasama perdagangan dengan China.
- Selain itu,
pemerintahan Megawati berusaha keras untuk keluar dari jebakan IMF. Hanya saja,
usaha itu dibiaskan oleh Budiono, menteri keuangan waktu itu, dengan
menandatangi post program monitoring (PPM) yang berarti melanjutkan campur
tangan IMF secara sembunyi-sembunyi.
- Untuk perlindungan
terhadap perempuan dan TKI di luar negeri, pemerintahan Megawati pernah
mengajukan tiga RUU, yaitu Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan
Terhadap Korban Kekerasan di Lingkungan Kerja dan Rumah Tangga, RUU Pekerja di
Luar Negeri, dan RUU Tindak Pidana Perdagangan.
- Proses Manipulasi Prestasi Ekonomi Pemerintahan SBY
Pengangguran
Jika mengacu pada BPS
yang dikendalikan SBY, maka tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2009
mencapai 9,26 juta atau 8,14 persen dari total angkatan kerja. Hal ini jelas
manipulatif, karena dibasiskan pada metode penghitungan yang tidak tepat. Dalam
penghitungan BPS, seseorang disebut bekerja bila dapat bekerja sejam dalam
seminggu. Dengan metode ini, maka kelompok pekerja informal termasuk orang yang
bekerja menjadi ‘pak ogah’ di pagi dan sore, penjual asongan, pekerja serabutan
dan orang yang ikut kampanye dan kegiatan partai, dapat disebut sebagai
pekerja. Penghitungan ini tidak akurat, karena akhirnya tidak menjelaskan angka
real orang yang bekerja dan memperoleh pendapatan yang layak.
Jadi, apa yang dikatakan
sebagai penurunan angka pengangguran dan pembukaan lapangan kerja baru oleh
BPS, dan diklaim prestasi SBY, adalah pertumbuhan pekerja informal. Porsi kerja
Informal yang pada tahun 2005 hanya 63%, meningkat menjadi 69% pada tahun 2008.
Pekerja informal ini termasuk kelompok unpaid worker (istri, anak, saudara,
dll). Pantas bila pada tahun 2008, klaim penciptaan lapangan kerja baru sebesar
2,6 juta ternyata 41%nya adalah lapangan kerja sektor jasa kemasyarakatan.
Kemiskinan
Seperti dalam kasus
penghitungan pengangguran, BPS juga menggunakan standar minimum dalam
menghitung angka kemiskinan.
Selain itu, klaim SBY
berhasil mensejahterakan benar-benar menyesatkan, karena tidak didukung
data-data dan fakta lapangan. Sebagai misal, angka prestisius SBY itu bertolak
belakarang dengan tingginya inflasi untuk makanan, bahan pangan, pendidikan dan
perumahan adalah salah satunya. Inflasi makanan dan bahan makanan masing-masing
sebesar 12,5% dan 16,4% atau inflasi perumahan dan pendidikan yang mencapai 11%
dan 9%. Padahal, ketiga hal tersebut sangat mempengaruhi pendapatan masyarakat
bawah dalam memenuhi kebutuhan pokoknya.
Klaim Swasembada Pangan
Disini, metode
penghitungan BPS juga sangat diragukan, karena hanya mengacu pada peningkatan
areal pertanian padi. menurut versi SBY, swasembada pangan pada tahun 2008
berhasil karena adanya peningkatan luas areal penanaman padi, yaitu mencapai
7,86 juta hektar atau 3,4 persen (periode Oktober 2007-Maret 2008) di atas
pencapaian luas tanam pada periode sama 2006/2007. Selain itu, SBY juga
menyebutkan sejumlah faktor yang mendukung pencapaian swasembada, yaitu iklim
kondusif, benih unggul, pupuk, suplai air, serangan hama penyakit, dan
pengelolaan pascapanen.
- Baiklah, kita bantah satu persatu kebohongan dari
pemerintahan SBY ini:
Ketika pemerintah
berkoar-koar mengenai keberhasilan swasembada pangan, pada bulan Februari tahun
2008 pemerintah mengimpor beras 500 ribu ton. Artinya, kalau benar sudah
swasembada pangan, kenapa harus mengimpor lagi?
Pemerintah mengaku punya
Program Peningkatan Produksi Beras (P2BN), dimana penggunaan benih varietas
unggul menjadi salah satu pilihan. Tindak lanjutnya, pemerintah mengalokasikan
bantuan benih padi dalam APBN sebanyak 37.500 ton dengan sasaran areal tanam
1,5 juta hektar. Belum lagi bantuan benih dalam bentuk Bantuan Langsung Benih
Unggul (BLBU), cadangan benih nasional, dan bantuan benih dalam bentuk subsidi
harga kepada petani (Kompas). Akan tetapi, program semacam ini perlu diperiksa
akurasinya di lapangan. Di banyak daerah, petani masih sering kesulitan
mendapatkan bibit. Kalaupun dapat, biasanya kualitas bibit yang didapatkan
rendah, seperti yang dirasakan petani di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Sistem irigasi sebagai
penunjang pokok dalam memacu produksi pertanian berada dalam kondisi buruk.
Setidaknya, berdasarkan data, terdapat 80% sistim irigasi di Indonesia
mengalami kerusakan. Jika benar, berarti klaim pemerintah bahwa sistim irigasi
menunjang produksi pertanian adalah bohong. Dan meman demikian faktanya.
Menurut Andreas Maryoto, seperti yang ditulis Kompas edisi 24 februari 09,
ketersediaan air bagi pertanian bukan karena faktor irigasi yang baik, melainkan
karena faktor cuaca pada musim kemarau yang cenderung basah seperti pernah
terjadi pada 2003.
Soal ketersediaan pupuk
lebih parah lagi. Hampir 5 tahun SBY memerintah, petani Indonesia tidak pernah
berhenti dari kegelisahan karena kelangkaan pupuk. Kalaupun ada, petani harus
memperolehnya dengan harga mahal. Tutupnya sejumlah pabrik pupuk, karena
kebijakan ekspor gas pemerintah, menyebabkan produksi pupuk nasional menurun.
Produksi pupuk di tahun 2008 diperkirakan hanya 6 juta ton, sementara konsumsi
meningkat mendekati 9 juta ton.
Soal serangan dan
gangguan hama, pada musim tanam di musim hujan 2007/2008, ada serangan tikus,
hama penggerak batang, tungro, kresek, dan blas yang terjadi pada 208.931 ha
atau di atas serangan hama yang terjadi pada musim tanam di musim hujan
2006/2007 yang hanya 143.312 ha.
Swasembada pangan yang
digembor-gemborkan oleh pemerintah, pada kenyataannya tidak dapat mengangkat
kesejahteraan kepada petani. Sebanyak 23,61 juta penduduk miskin berada di
daerah perdesaan dan umumnya terlibat atau berhubungan dengan sektor pertanian.
Bahkan, 72 persen kelompok petani miskin adalah dari subsektor pertanian pangan
(BPS, 2007). Saya mengira bahwa angka ini belum banyak berubah.
Berdasarkan data, pada
tahun 2005, dikatakan bahwa baru 32,3% penduduk Indonesia yang mempunyai rumah,
sementara sisanya hidup memprihatinkan.
Menurut Koalisi Rakyat
untuk Hak Atas Air (KRuHA), Hanong Santono, terdapat 119 juta rakyat Indonesia
yang belum mengakses air bersih, akibat keputusan pemerintah memprivatisasi
pengelolaan air bersih.
Di bidang pendidikan, misalnya, menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor
Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada
tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa.
Dalam tahun 2008 angka
tersebut meningkat, karena terjadi pertambahan putus sekolah sekitar 841.000
siswa sekolah dasar dan 211.643 siswa SMP/madrasah tsanawiyah . Jadi, total
kepala yang tak mampu dididik oleh Negara hingga tahun 2009 adalah sebesar 13
juta jiwa.
Setiap tahunnya, semenjak
pemerintahan SBY, terdapat 74.616 hingga satu juta orang perempuan yang
diperdagangkan secara illegal. Pemicunya adalah kemiskinan dan perlindungan
pemerintah yang lemah.
http://ariesulistya.wordpress.com/2012/06/24/perekonomian-pada-masa-pemerintahan-susilo-bambang-yudhoyono/